Ada tiga hal yang
merupakan tanggung jawab IAIN dalam kaitannya dengan pembangunan yang sedang kita
laksanakan ini. Pertama, IAIN harus mampu mencetak guru-guru agama dan
dosen-dosen agama yang berkualitas, kedua, IAIN
harus mampu mencetak calon-calon hakim agama
yang memadai dan memiliki persyaratan untuk memberikan kepastian
hukum kepada para pencari keadilan, dan ketiga, IAIN harus mampu mencetak
pemikir-pemikir Islam yang betul-betul paham
tentang Islam dan memiliki wawasan yang luas dan pandai mencari jawaban atas
perkembangan perkembangan yang terjadi. (Munawir Sjadzali,1988).
Sebagai sebuah
institut yang berfokus pada studi keIslaman awal tahun 1957 didirikanlah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta untuk mendidik ulama-ulama.
Berkembang sampai tahun 1960-an maka IAIN didirikan di berbagai kota dan ilmu
yang diajarkanpun meluas menjadi ilmu pendidikan Islam, ilmu-ilmu sosial,
humaniora dan lainnya. Tidak berlebihan kiranya Menteri Agama 1983-1993 ini
berharap dari perguruan tinggi keagamaan menjadi pencetak tiga hal yakni;
Pertama, mencetak
guru dan dosen yang berkualitas. Ini adalah hulu dari upaya peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dengan guru yang berkualitas maka
pendidikan dasar akan semakin membaik, dengan kualitas dosen yang profesional,
maka perguruan tinggi akan menghasilkan ilmuwan yang mumpuni.
Kedua, mencetak
calon hakim agama yang memadai untuk kepastian hukum. Masyarakat setiap saat
dihadapkan dengan keadaan yang kompleks, dari sejak kelahiran, pernikahan,
berkeluarga, bermasyarakat sampai pada kematian bahkan pembagian harta warisan
penuh dengan persoalan. Diharapkan lahir sarjana yang memiliki kemampuan membina,
membimbing, dan membantu masyarakat memecahkan persoalan dengan ilmu
pengetahuan demi keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga, mencetak
pemikir yang faham dan berwawasan luas untuk menjawab perkembangan zaman. Pendidikan
adalah mengajarkan kebaikan masa lalu, memberi keterampilan menyelesaikan
masalah hari ini, dan yang utama mampu merekayasa atau merencanakan masa depan.
Sarjana yang memiliki wawasan luas, dan faham akan seluk beluk persoalan, maka
diharapkan memiliki ketajaman dalam menganalisis persoalan untuk memberi
alternatif bagaimana mempersiapkan diri dimasa depan.
Seorang
Munawir Sadzali memang tidak sendiri menyelesaikan persoalan keagamaan, lewat
departeman agama, lewat berbagai program banyak hal telah dilakukan; tri
kerukunan umat beragama menjadi salah satu jalan menselaraskan kehidupan
Bergama, Bermasyarakat dan Bernegara.
Pendidik
inspiratif bukan saja menempatkan diri sebagai bagian dari upaya menciptakan
generasi yang baik, tetapi berkolaborasi dengan keilmuan lain. Disinilah
pernyataan yang sangat jelas, tidak ada fakultas di IAIN yang unggul apalagi
diperlakukan istimewa, tetapi yang ada adalah kemajuan bersama secara
institusi, keberhasilan dan keunggulan adalah hasil kolaborasi. Apalagi
pernyataan fakultas yang disubsidi, ada yang surplus, tetapi paradigmanya
adalah saling berbagi, berkolaborasi untuk membangun bersama kemajuan sebuah
institusi. Kita menyadari ilmu pengetahuan hari ini tidak dapat berdiri sendiri
tanpa ilmu-ilmu lain, maka sinergitas perencanaan adalah kata kunci, kolaborasi
adalah semangat berbagi, dan kebersamaan adalah cara merayakannya.