Pendidik Inspiratif Prof.Abu
Rokhmat
Oleh Mardianto
Pengembangan kampus perlu dilakukan rekonsiliasi, resolusi
dan advokasi. Ya dinamika menajerial di kampus pasti ada, maka saya harus
komunikasi dengan anggota Senat, dengan pimpinan UIN, Dosen-dosen dengan
organisasi mahasiswa, termasuk organisasi kemasyarakatan juga harus kita
lakukan. Ini tujuannya ntuk membangun kepercayaan publik bahwa didalam itu
oke-oke saja. (Prof Abu Rokhmad,2022).
Sebuah lembaga pendidikan memiliki berbagai unsur, dan sistem
untuk mencapai tujuan. Unsur yang dapat dalam perguruan tinggi zaman dulu
dikenal dengan alma materi yang terdiri dari dosen mahasiswa dan pegawai,
kemudian hanya dosen dan mahasiswa saja. Namun kini terus berkembang disebut
dengan stakeholders melibatkan pemerintah, masyarakat, tenaga kependidikan dan
lain sebagainya.
Semua unsur-unsur dalam perguruan tinggi tersebut tentu
memerlukan aturan bagaimana saling berinteraksi, apa saja wewenang atau batasan
tugas, serta hak dan kewajiban. Bila semua unsur dalam pekerjaannya berjalan
dengan baik, maka akan terjadi efiensi dan efektifitas untuk produktitifas
begitu juga sebaliknya. Untuk inilah maka perlu tata aturan yang disebut dengan
sistem yang bermaksud mengelola seluruh tata aturan hubungan antar unsur atau
antar sistem.
Di perguruan tinggi tata aturan itu disebut dengan statuta,
yakni penataan permanen yang menjadi tolok ukur bagaimana seluruh unsur, dan
sistem bekerja dalam satu kesatuan.
Jelas sekali tidak ada yang lebih tinggi dari statuta walaupun dalam
batang tubuhnya terdapat konsederan berbagai nomenklatur sejak dari Undang
Undang, Peraturan Pemerintah sampai Rapat Pimpinan, dan lain sebagainya.
Statuta memang paling tinggi sebagai sumber tertib hukum di
perguuran tinggi, namun adaptasi atau penyesuaian tetap ada ruang untuk
dilakukan. Begitu juga dengan orang yang ada didalam, sejak dari rektor, dekan,
dosen, dan mahasiswa memiliki ruang untuk membaca, menelaah dan mengembangkan
namun tetap ada aturan untuk kegiatan tersebut.
Masih banyak diantara para civitas akademika yang belum
memahami, atau justru karena faham ia mencari solusi sendiri tentang adaptasi
statua. Kira kira bukan ia beradaptasi dengan statuta, tetap statuta
diadapatasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini gejala, fakta atau banyak
terjadi di lapangan atau di perguruan tinggi. Abu Rokhmat menyebutnya dengan
dinamika manajerial di kampus.
Secara tegas beliau memberi batasan bahwa: kampus perlu
dilakukan rekonsiliasi, resolusi dan advokasi. Ini benar adanya; karena unsur
perguruan tinggi yang sangat kompleks, dinamis bahkan progresif serta tuntutan
dunia luar kampus.
Rekonsiliasi maksudnya bahwa mengembalikan posisis unsur
masing-masing di perguruan tinggi sebagaimana mestinya. Istilah sadar posisi
itu memang benar adanya, sekaligus taat akan azas maka ini menjadi fondasi yang
kuat terhadap sebuah perguruant inggi. Tidak ada yang paling hebat di kampus,
semua sudah ada ataurannya, bahkan ada masanya, terlebih kita sadar bahwa hebat
itu kampusnya bukan orangnya.
Inilah rekonsiliasi yang didasarkan pada regulasi yang tepat
yakni UU No.12 Tahun 2012 dimana pada pasal 61 dituliskan: Pasal 61
(1) Organisasi
penyelenggara merupakan unit kerja Perguruan Tinggi yang secara bersama
melaksanakan kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber daya. (2)
Organisasi penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
terdiri atas unsur: a. penyusun kebijakan; b. pelaksana akademik; c. pengawas
dan penjaminan mutu; d. penunjang akademik atau sumber belajar; dan e.
pelaksana administrasi atau tata usaha. (3) Organisasi penyelenggara Perguruan
Tinggi diatur dalam Statuta Perguruan Tinggi.
Resolusi lebih kepada upaya tertulis terhadap seluruh
kebijakan yang kuat. Akan menjadi sumber dasar hukum bagi siapapun, bila semua
diputuskan, apalagi direkomendasi untuk segera dilakukan. Resolusi memang tidak
tepat bila setiap saat dilakukan, tetapi semangat menuliskan seluruh
perencanaan, kemudian mencatat seluruh kejadian akan menjadi dokumen penting
bahwa yang dihasilkan adalah bagian dari apa yang kita inginkan. Itulah tertib
administrasi di perguruan tinggi.
Advokasi adalah ruang dimana semua unsur harus terlibat,
tentu sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Irama dan kemampuan
setiap unsur tidaklah seperti mesin yang sama standarnya, maka antara satu
dengan lainnya pasti berbeda. Khususnya dosen dan mahasiswa, sebagian mereka
adalah generasi X,Y,Z dan mungkin milenial, penangan terhadap mereka bukan
dengan cara yang kaku apalai baku. Untuk
inilah advokasi diperlukan, tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi justru dosen
yang lebih utama.
Prof.Abu Rokhmat mempraktekkan tiga hal di atas, bukanlah
dari sekedar teori manajemen, tetapi pengalaman menangani berbagai masalah di
perguruan tinggi justru melahirkan teori-teori baru. Tidak ada perguruan tinggi
yang tidak bermasalah. Bila kita tidak mau perguran tinggi kita bermasalah,
maka sebagai dosen lebih tepat kita berada di perguruan rendah.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun
negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.